Sirotulmustaqim: BAB VI TERPECAH…. DAN YANG BENAR HANYA SATU!
Karena penyelisihan sirotulmustaqim macam kedua bersifat sangat samar dan tujuan buku ini adalah meluruskan serta menerangkan jalan titian kita pada dasar-dasar Islam, maka buku ini lebih difokuskan kepada penyelisihan macam kedua, yaitu penyelisihan mendasar dengan tetap adanya penerimaan kepada syahadatain.
Alloh adalah satu-satunya Robb (Tuhan) yang benar, dan Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Tetapi pada zaman kita sekarang ini, kita dapati “banyak Islam”. Berdasarkan prinsip asasi bahwa Islam yang benar hanyalah satu, maka di antara yang banyak itu, hanya satu Islam yang benar-benar Islam dan murni.
Alloh telah menegaskan bahwa jalan-Nya hanyalah satu sirot, dan bukan subul (banyak jalan).
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah sirotulmustaqim (jalan-Ku yang lurus), maka ikutilah jalan ini, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalannya. Demikianlah wasiat Alloh kepada kalian agar kalian bertakwa.” [QS. al-An’am (6): 153]
Selain Islam yang benar lagi murni, maka tidak akan dapat menyampaikan kepada keridoan Alloh . Semakin bertambah ke-kurang-murni-an Islam pada diri seseorang, maka semakin bertambah terancam pula tujuannya dalam mendapatkan keridoan Alloh yang mutlak. Semakin bertambah ketidakmurnian keislaman seseorang, maka semakin bertambah pula kejauhannya dari Alloh . Ini semua terjadi ketika ke-kurang-murni-an keislaman seseorang masih dalam lingkaran umum Islam. Tetapi ketika ketidakmurnian terus melebar, hal ini bisa mengantarkan seseorang kepada kekafiran.
Umat ini akan terpecah menjadi banyak golongan. Dan memang sudah terpecah! Namun hanya satu yang benar, dan yang lain salah! Hanya satu yang akan selamat dari api neraka, sedangkan yang lain akan memasuki neraka terlebih dahulu!
(( لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ الله،ِ مَنْ هُمْ؟ قَالَ: اَلجَمَاعَةُ ))
“Sesungguhnya umatku akan berpecah-belah menjadi 73 golongan. Satu golongan di dalam surga dan 72 golongan di dalam neraka. Ditanyakan kepada beliau: ‘Siapakah mereka (yang satu golongan) itu wahai Rosululloh?’, maka beliau menjawab: ‘al-Jama’ah.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Abi ‘Ashim dan al Lalika’i)
(( وَإِنَّ بَنِىْ إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَسَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً. قَالُوا: مَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ كَانَ عَلىَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي ))
“Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 kelompok keagamaan, dan umatku akan berpecah-belah menjadi 73 kelompok keagamaan. Seluruhnya berada di api neraka, kecuali satu kelompok. Mereka (para sahabat) bertanya: ‘Siapakah satu kelompok itu wahai Rosululloh?’, maka beliau men-jawab: ‘Mereka yang mengikuti jejakku dan jejak para sahabatku.” (HR. Tirmidzi, Hakim dan al Lalika’i)
Dari penjelasan tersebut di atas, gugurlah teori Pluralisme di dasar Jahannam yang paling dalam!
Yang benar hanya satu!
Maka sangat wajiblah bagi kita untuk mempelajari yang satu tersebut dan menghindar dari yang lainnya!
A.Arti Iftiroq (perpecahan).
Arti dari iftiroq atau perpecahan dalam konteks ini adalah meninggalkan garis lurus sirotulmustaqim dan mengikuti garis-garis sesat yang banyak dan bercabang-cabang.
Dengan kata lain, iftiroq berarti memilih jalan-jalan lain (alternatif) dalam memahami dan menerapkan Islam, selain dari jalan Rosululloh dan para sahabatnya. Mereka “menolak”, baik sengaja ataupun tidak manhaj ittiba’, yaitu jalan pengikutan kepada Rosululloh .
B.Sebab-Sebab Penyimpangan.
Sebab utama dari perpecahan tersebut adalah karena hawa nafsu dan kejahilan (kebodohan).
Pengikutan kepada hawa nafsu (terutama hawa nafsu berpendapat) dan kejahilan, telah menimbulkan sebab-sebab perpecahan lainnya yang banyak sekali.
C. Sejarah Awal Perpecahan.
Firoq dollah berarti golongan-golongan yang sesat, dalam arti salah memilih jalan dalam menempuh Islam. Kesesatan bisa berarti bid’ah dan juga bisa berarti kekafiran.
Tetapi dalam konteks ini, yang dimaksud dengan kesesatan adalah bid’ah, yaitu salah memilih jalan dalam meniti Islam. Yang seharusnya mereka memilih jalan yang telah ditempuh oleh Rosululloh dan para sahabatnya, yaitu jalan Sunnah, tetapi mereka malah memilih jalan lainnya yang tercampur padanya hal-hal yang bukan berasal dari Sunnah Rosululloh .
Adapun mereka yang sudah keluar dari Islam, maka walaupun mereka adalah golongan-golongan sesat pada umumnya, tetapi mereka bukanlah orang-orang yang dimaksud dalam pembahasan ini. Seperti yang dikabarkan oleh Rosululloh dalam hadits-hadits yang lalu, bahwa firqoh dollah tersebut akan bermunculan sampai bilangannya mencapai 72 (tujuh puluh dua) golongan.
Begitulah yang mulai terjadi pada masa-masa terakhir khulafa’urrosyidin (empat kholifah yang mendapat petunjuk). Walaupun bibit-bibit furqoh (perpecahan) dan firoq (kelompok-kelompok) sudah mulai bersemi sebelum kekhilafahan ‘Ali bin Abi Tolib , akan tetapi munculnya golongan sesat pertama yang mengkristal sebagai sebuah kelompok, baru terjadi pada zaman kekhilafahan beliau. ‘Ali bin Abi Tolib diangkat menjadi kholifah setelah terbunuhnya kholifah ‘Utsman bin ‘Affan di tangan segerombolan ahlul fitnah pada tahun 35 H. Ketika itu terjadilah perselisihan pendapat tentang cara penyelesaian bagi kasus pembunuhan tersebut, antara ‘Ali bin Abi Tolib sebagai kholifah dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan , yang pada waktu itu menjabat sebagai gubernur Syam (Syiria dan sekitarnya). Perselisihan tersebut bertambah runcing hingga terjadi peperangan di antara kedua pihak. Manhaj Ahlus Sunnah dalam hal perselisihan di antara para sahabat adalah tidak mencampuri apa-apa yang terjadi di antara mereka, bahkan kita harus mendoakan kebaikan bagi mereka semua.
Dalam suatu pertempuran antara pendukung ‘Ali bin Abi Tolib dan pendukung Mu’awiyah , terjadi suatu kesepakatan untuk berunding menyelesaikan masalah tersebut dengan damai. Maka diangkatlah dari setiap pihak seorang hakim untuk menerapkan hukum Alloh dalam menyelesaikan masalah yang pelik ini. Di sinilah munculnya firqoh sesat pertama yang keluar dari jalan Sunnah dan keluar dari Jama’ah kaum muslimin. Firqoh ini dinamakan Khowarij, yang berarti orang-orang yang keluar. Mereka keluar dari Sunnah dan Jama’ah, tidak lagi sebagai bagian dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah, ketika mereka memahami masalah yang ada dari dalil al-Qur’an tentangnya bukan dengan manhaj Ahlus Sunnah. Mereka menyatakan bahwa dengan mengangkat seorang hakim, ‘Ali bin Abi Tolib telah memberi hak tasyri’ (membuat hukum) kepada makhluk, yang berarti suatu kesyirikan yang nyata. Maka mulailah mereka mengkafirkan ‘Ali bin Abi Tolib dan para sahabat pendukungnya. Pada hakikatnya kedua hakim tersebut tidak diberi mandat untuk membuat suatu hukum, tetapi hanya diangkat untuk menghakimi kedua pihak dengan hukum Alloh . Sebenarnya masalah pengangkatan kedua hakim tersebut sangat sederhana dan dapat dipahami dengan mudah. Oleh karena itu, selain karena kebodohan yang nyata pada mayoritas mereka (kaum Khowarij pada waktu itu), disinyalir pula ada niat buruk dari sebagian pemimpin mereka yang menggerakkan keluarnya mereka dari jama’atul muslimin. Ketika mereka keluar dan berkumpul di suatu tempat yang dikenal dengan nama Haruro (dari tempat ini pula mereka dinamakan haruriyin), bertambah luaslah kesesatan mereka dengan adanya saling isi-mengisi kesesatan di antara mereka. Setelah melalui waktu yang cukup panjang dan dari kurun ke kurun, manhaj ini pun mulai berkembang dan mencakup hampir seluruh segi agama.
Di antara kesalahan yang termasyhur dari manhaj Khowarij adalah pengkafiran para pelaku dosa besar. Sebagai reaksi dari kesalahan ini (paham Khowarij), muncullah pemahaman yang menolak hubungan antara amal dan kekufuran. Manhaj ini dinamakan manhaj irja’ (penganutnya dinamakan Murji’, pluralnya adalah Murji’ah), mereka menyatakan bahwa iman seseorang tidak berkaitan dengan amal. Jadi bagaimanapun buruknya perbuatan seseorang, orang itu tidak akan menjadi kafir selama di dalam hatinya masih ada kepercayaan dan lisannya masih mengucapkan dua kalimat syahadat.
Kedua kelompok tadi enggan mengikuti manhaj sahabat yang pada waktu itu banyak yang masih hidup, maka sesatlah mereka.
Pada waktu bersamaan dengan munculnya Khowarij, benih-benih Syi’ah sebenarnya sudah ada. Bahkan penggagas firqoh Syi’ah, ‘Abdulloh bin Saba’ seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam, sudah bekerja di bawah tanah dengan gigih di masa khilafah ‘Utsman bin ‘Affan . Yahudi inilah yang menjadi pemimpin gerakan pembunuhan terhadap ‘Utsman .
Firqoh Syi’ah yang dicetuskan oleh ‘Abdulloh bin Saba’ adalah firqoh sesat yang kesesatannya sampai pada taraf kesyirikan, yaitu dengan menuhankan ‘Ali bin Abi Tolib . Sedangkan firqoh-firqoh Syi’ah yang pada akhirnya seakan-akan berkembang dengan merayap, pada mulanya hanya terbatas pada sikap mengutamakan ‘Ali bin Abi Tolib atas Abu Bakar dan ‘Umar . Hal ini bertentangan dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menetapkan urutan afdoliyah (keutamaan) mereka sama persis seperti urutan kekilafahan mereka.
‘Ali bin Abi Tolib sendiri sebagai salah satu pelopor Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menyetujui tentang lebih diutamakannya beliau atas Abu Bakar dan ‘Umar , bahkan beliau akan menghukum cambuk orang-orang yang berpendirian demikian. Hingga batas pemahaman seperti ini, Syi’ah pada waktu itu hanya sebagai suatu kelompok politik yang mendukung kholifah ‘Ali bin Abi Tolib dan anak-anak keturunannya. Arti kata Syi’ah sendiri adalah pendukung. Tetapi kesalahan pemahaman yang kelihatannya sepele ini kemudian mulai mengembang sampai pada kesesatan yang sangat mengerikan bahkan pada banyak kelompok-kelompok Syi’ah, ada yang sampai pada kekufuran yang nyata sekali.
Kemudian setelahnya, bermunculanlah firqoh-firqoh sesat lain yang menyandarkan manhaj mereka kepada produk-produk akal mereka dan filsafat Yunani serta menjauhkan diri dari manhaj sahabat yang mulia.
Di waktu yang sama, sahabat dan para pengikut mereka yang setia, yaitu tabi’in dan tabi’ut-tabi’in pun senantiasa gigih mendakwahkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tidak ada satu pun dari sahabat yang masuk ke dalam salah satu firqoh-firqoh tersebut. Istilah Ahlus Sunnah, pengikutan pada sunnah dan yang semisalnya, sebelum itu pun sudah menjadi istilah resmi di antara para penuntut ilmu. Tetapi tidak dimaksudkan sebagai firqoh tersendiri dalam tubuh kaum muslimin, sebab seluruh kaum muslimin pada waktu itu adalah Ahlus Sunnah. Tetapi ketika firqoh-firqoh yang mening-galkan manhaj Sunnah dan keluar dari Jama’ah mulai bermunculan, maka salafussoleh pun memakai nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai identitas resmi dan nama bagi firqotunnajiyah (golongan selamat), golongan yang senantiasa komitmen dalam mengikuti jejak Rosululloh dan para sahabatnya.
Sebab utama dari penyimpangan firoq dôllah pada waktu itu sebenarnya berakar pada dua hal, yaitu:
- Tidak mengikuti metode sahabat dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah.
- Berpedoman kepada sumber-sumber lain selain ke-pada al-Kitab (al-Qur’an) dan as-Sunnah dalam mengambil hukum-hukum Islam, seperti bersandar kepada akal, mimpi, filsafat dan lain-lainnya.
Kedua sebab tersebut dilahirkan oleh hawa nafsu dan kejahilan (kebodohan), yang kemudian bercabang menjadi sebab-sebab yang banyak.